Lini Masa Perkembangan Toko Kain India di Yogya, realisasi oleh: Karina Roosvita
Oleh: Ferdiansyah Thajib & Nuraini Juliastuti
Di Yogyakarta, tidak ada wilayah khusus yang menjadi pusat pemukiman orang-orang keturunan India. Tempat tinggal mereka cenderung berpencar. Namun satu hal yang menyatukan mereka, yaitu toko kain. Sebagian besar warga India Indonesia di Yogyakarta berprofesi sebagai pedagang dan/atau memiliki toko kain. Seperti layaknya usaha keluarga lainnya, toko-toko kain ini telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari dari satu generasi ke generasi lainnya. Toko-toko kain ini telah merekam upaya-upaya para keluarga pendatang dari India untuk berkomunikasi dengan konteks lokal di Yogyakarta.
Menghubungkan toko kain dengan rute perjalanan yang telah dijalankan oleh para keluarga India tersebut, pada level internal, toko kain bisa dibaca sebagai kelanjutan dari koper-koper yang dibawa oleh para pendatang tersebut. Ia adalah simbol dimulainya hidup baru di tanah orang, pondasi dari rumah yang didirikan setelah masa kedatangan. Peneliti yang berbasis di Inggris, Irit Rogoff (2000) dalam Terra Infirma: Geography’s Visual Culture, menyebutkan bagaimana memori dan simbol kultural diobyekkan dan dimuseumkan ke dalam koper. Performativitas para keluarga India yang didemonstrasikan dalam toko-toko mereka, merupakan hasil seleksi dan modifikasi atas bagasi yang dibawa dari tempat asal.
Dalam lanskap urban kota Yogya, toko kain, serta bagaimana ia terjalin dalam kehidupan sehari-hari, terungkap beberapa hal penting. Pertama, ia bisa dibaca sebagai upaya untuk melibatkan diri penuh-penuh dengan konteks lokal. Mendirikan bisnis adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan di level lokal, sekaligus bagian dari strategi panjang untuk memantapkan posisi di sana. Lewat toko-toko kain ini, kita dapat melihat mekanisme bertahan dan upaya-upaya untuk membaur yang dilakukan oleh warga India Indonesia.
Sekaligus, kedua, ia merupakan simbol penampakan masyarakat India yang nyata; ia adalah tanda di mana pendatang menunjukkan jati dirinya. Jarak antara lokal dan pendatang juga dipertajam dengan performativitas toko-toko kain ini. Arsitektur, interior, dan suasana yang dikonstruksi melalui toko-toko ini telah membuat perbedaan antara “kita” dan “mereka” menjadi lebih konkrit.
Ketiga, toko kain adalah sebuah arena di mana proses pertukaran mempunyai efek personal. Selain berfungsi sebagai memenuhi kebutuhan sehari-hari, keterlibatan masyarakat lokal dalam bentuk kerjasama bisnis, menambah efek personal dari pertukaran ini karena ia digerakkan dan dibentuk oleh kode yang sama, yaitu: usaha bertahan hidup. Ia adalah sebuah arena di mana baik pendatang maupun yang lokal terus menerus memosisikan diri.
Merekam sejarah lisan mengenai toko-toko kain di Yogya sama artinya menceburkan diri dalam narasi yang sangat kaya, lalu lintas ingatan (dan pelupaan) serta pekat dengan silsilah kekerabatan. Kajian atas toko-toko ini tidak hanya memberikan pemahaman lebih dalam mengenai kehidupan diaspora India Indonesia di Yogyakarta, namun juga merupakan upaya untuk memeriksa kembali stereotip dan kosakata tertentu yang selama ini dilekatkan pada mereka.
Read More